SURABAYA - Dalam kehidupan sehari-hari, banyak ditemui berbagai macam orang dengan karakter yang berbeda satu sama lain. Adakalanya, seseorang melakukan kebohongan lebih sering daripada orang kebanyakan serta tanpa memiliki motif tertentu. Inilah yang disebut dengan pembohong patologis.
Mengenai hal itu, Nido Dipo Wardana SPsi MSc, dosen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, menuturkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman antara orang awam dan para tokoh psikologi atau psikiatri terkait dengan fenomena satu ini. “Yang penting untuk dipahami dari pembohong patologis adalah orang yang berbohong tapi tanpa ada sebab yang jelas kenapa mereka berbohong, ” papar Nido pada wawancara Selasa (5/4/3022).
Baca juga:
STTAL Ciptakan Prototipe Drone Dua Media
|
Ia melanjutkan bahwa fenomena pembohong patologis, harus dibedakan dari bentuk-bentuk kebohongan lain yang sama-sama kronis namun memiliki motif yang jelas di balik kebohongannya. “Ada bentuk-bentuk pembohong kronis lainnya yang juga suka berbohong tapi motifnya bisa kita identifikasi, ” ujar Nido.
Tidak hanya itu, ia juga mengatakan bahwa penyebab seseorang menjadi pembohong patologis belum diketahui secara pasti lantaran fenomena itu belum mendapat banyak perhatian ilmiah. Namun, dari sudut pandang biologis, Nido menjelaskan bahwa terdapat perbedaan cara kerja otak pada orang dengan kebiasaan berbohong patologis utamanya di bagian otak depan.
“Hal ini menyebabkan seorang pembohong patologis kurang mampu mengendalikan impuls (dorongan, - red) untuk melakukan kebohongan, ” ujarnya.
Dari sudut pandang psikologis sendiri, sambung Nido, seseorang dengan kebiasaan berbohong patologis ini kerap kali ditemui pada individu yang memiliki harga diri rendah. “Kadang-kadang, konten kebohongan yang dia buat itu adalah bentuk dari semacam ideal self-nya, ” tegas Nido.
Seorang pembohong patologis, sambungnya, tidak jarang akan mengalami stres dalam kehidupan sehari-harinya. Hal itu, lanjutnya, disebabkan karena memiliki tuntutan untuk terus menyebarkan kebohongan lain untuk menjelaskan kebohongan yang ia lakukan sebelumnya.
“Itu semacam rantai yang susah diubah sehingga secara komitmen memberatkan individu karena harus berpikir keras untuk fabricating informasi yang tidak benar, ” ujar Nido.
Selanjutnya, Nido menegaskan bahwa mengingat masih minimnya studi mengenai fenomena pembohong patologis itu, belum diketahui pasti apakah kondisi tersebut dapat dihilangkan atau tidak. Perlu untuk dipastikan terlebih dahulu apakah fenomena itu sama dengan gangguan kompulsif lainnya.
“Kalau misalnya kita tempatkan pembohong patologis di posisi yang sama dengan gangguan kompulsif, maka asumsinya adalah bisa dibantu untuk menghilangkan kebiasaan ini. Tentu saja dengan terapi serta mungkin nantinya bisa dikembangkan medikasi dan segala macam, ” jelas Nido.
“Tetapi, untuk pastinya ini perlu riset yang mendalam lagi, ” lanjutnya.
Pada akhir, Nido mengatakan bahwa untuk menghadapi orang dengan sifat berbohong yang patologis, tentu bukan perkara yang mudah. Jika orang terdekat seperti teman atau bahkan pasangan merupakan seorang pembohong patologis, Nido menyarankan agar tidak menghadapinya dengan konfrontasi penuh.
“Coba konfirmasi (informasi dalam kebohongannya, - red) kemudian dibantu untuk melihat bahwa mereka sudah sering berbohong. Bisa diajak berpikir gimana (solusi, - red) selanjutnya, ” pungkas Nido. (*/Jon)